Rabu, 22 Agustus 2007

Memaknai Sepakbola

Sepakbola itu seperti sebuah kehidupan. Ada permulaan, ada perjuangan, dan ada akhir. Mereka yang bisa memanfaatkan kesempatan akan mencetak gol dan memenangi pertandingan. Persis kehidupan.

Sepakbola pun dapat diberi makna yang berkaitan erat dengan hidup manusia. Olahraga ini diberi waktu 90 menit untuk diperjuangkan. Di bumi, kita semua memiliki 24 jam yang terbagi dua untuk diarungi dan dimenangkan guna mencari kehidupan yang lebih baik.

Pemain di lapangan dan di bangku cadangan punya peran masing-masing. Begitu pula kita dalam kehidupan. Pelajar, karyawan, pengusaha, hingga ibu rumah tangga memiliki tugas dan fungsi masing-masing.

Dari tayangan layar kaca, kita bisa menangisi kekalahan klub kesayangan. Seolah ada bagian dari hidup ini yang terganggu. Padahal, kita tidak berada dalam satu wilayah atau negara dengan klub tersebut. Bahkan, untuk menyaksikan idola kita berlaga, kerap dibutuhkan stamina dan pengorbanan akibat jam tayang yang tengah malam.

That’s football. Itulah sepakbola yang punya makna tanpa batas. Ia menyentuh kehidupan manusia, melewati batas negara dan benua. Kepindahan David Beckham dari Real Madrid (Spanyol) ke LA Galaxy (Amerika) juga ditangisi Madridistas di Indonesia.

Terkadang muncul pertanyaan, “Kenapa sih kita harus capek-capek mengikuti sepakbola ketika ia kerap kali membuat kita patah hati?”

Eit, sepakbola tidak hanya memberikan kekecewaan dan luka. Tak peduli klub apa yang Anda dukung, ia juga dengan cepat mengantarkan masa-masa indah penuh keceriaan. Bahkan dikenang untuk waktu sangat lama.

Saya masih bisa membayangkan bagaimana Mei lalu Milanisti Indonesia berteriak histeris ketika AC Milan membalas kekalahan di final Liga Champion 2005 dari Liverpool. Bahkan ingatan pekik Bigreds Indonesia saat The Reds membalikkan keadaan dari tertinggal 0-3 di final Istabul 2005, membuat saya merinding.

Sepakbola telah memberi arti dalam hidup milyaran manusia di muka bumi. Dan, ia selalu memberi harapan akan hadirnya kejayaan. Bukankah hidup tanpa harapan, sama artinya dengan kematian?

Tontonan Gratis

Musim kompetisi baru sudah mengetok pintu kehidupan kita. Dan pertanyaan,’kenapa sih orang Spanyol nggak mau main agak sore?’ kembali menghampiri saya. Katanya, andaikan Liga Spanyol ditayangkan lebih sore, pastilah kompetisi akan semakin populer di benua Asia.

Ada benarnya. Lihat siapa yang dalam dekade terakhir menguasai pemilihan pemain terbaik Eropa dan dunia. Jawabannya pesepakbola La Liga! Bersama Italia, klub Spanyol menjadi yang terbaik dalam sejarah kepemilikan gelar juara Liga Champion.

Well, saya hanya bisa menjawab satu kata: siesta! Tradisi tidur siang masyarakat Spanyol antara pukul 14.00 hingga 17.00 waktu setempat baru bisa dipinggirkan dalam kehidupan perkantoran.

Lalu, kenapa ada pertandingan berlangsung pukul 21.00 dan 22.00 waktu Spanyol? Di tambah perbedaan 5 jam saat musim panas, waktu itu menjadi pukul 3 dan 4 dini hari WIB. Well, setelah siesta mereka masih menikmati late dinner alias makan malam yang berlangsung sekitar pukul 20.00 dan 21.00 malam saat weekand. Setelah itu, baru meluncur menuju stadion.

Dan, wajar-wajar saja mereka tak peduli dengan keluhan kita. Wong itu tradisi mereka.

Mungkin, ketika biaya pengelolaan klub semakin membengkak tak karuan, petinggi-petinggi klub Spanyol sepakat untuk melirik pasar Asia. Siesta dan late dinner versus pasar sepakbola? Boleh juga.

Tapi untuk saat ini, pencinta La Liga layak bersyukur masih bisa menikmati tontonan tanpa bayar. Ketika Premier League hilang dari layar kaca televisi gratisan, mungkin kita baru bersyukur selama ini telah diberikan tayangan bermutu tanpa embel-embel biaya langganan. Tinggal pilih channel saja.

Sampai kapan kita akan menikmati Liga Spanyol secara gratis? Jaminan itu baru hingga kompetisi 2008/09. Semoga saja RCTI tetap menjaga hubungan manisnya dengan insan La Liga di Tanah Air meski persaingan antartelevisi di Indonesia kerap membuat kita geleng-geleng kepala.

Entah untuk keberapa kali saya menulis ini. Setiap bertemu tokoh-tokoh penting sepakbola di luar negeri sana, selalu saya katakan Indonesia adalah surga tayangan sepakbola bermutu.

Dari liga-liga Eropa hingga Piala Dunia, Piala Eropa, dan Copa America. Semua tak perlu bayar. “Tapi, jangan dulu tanyakan prestasi tim sepakbola kami,” ujar saya buru-buru. “Kami masih menjadi penikmat, belum pelaku.”

Penikmat dan pelaku. Ah, kapan dia akan bersatu? Pertanyaan ini kemudian digeser oleh sebuah gosip. Rumornya, hak siar Piala Dunia 2010 untuk kawasan Asia telah dimenangkan distributor asal Malaysia.

Hmm… sebuah pertanyaan besar muncul di kepala. Masihkah ada tayangan gratis dari Afrika Selatan? Tergantung bagaimana pihak pertelevisian kita (dan asing) memberi makna eksklusivitas. Uang akan berbicara! #

Tidak ada komentar: