Kamis, 16 Agustus 2007

Pemerkosaan Sepakbola Inggris

Sepakbola di Eropa tak akan pernah menjadi bisnis murni. Dia akan selalu tentang kejayaan di lapangan!

Ucapan Sean Hamil, seorang pengajar di University of London, menyikapi gelombang protes invasi pengusaha Amerika ke Premier League, pantas dipertanyakan. Benarkah sepakbola Inggris tidak terganggu oleh kedatangan pemilik uang dari berbagai negara?

Sungguhkah perhatian masyarakat dan pemberitaan sepakbola di Inggris semata akan berpusat pada laga di rumput hijau? Kalau benar, maka cerita tentang pergantian pemilik klub, persaingan sponsor, melambungnya gaji pemain, target penjualan merchandise, hingga kenaikan harga tiket hanyalah bumbu penyedap.

Tapi, siapa yang tak punya pertanyaan melihat sepuluh dari duapuluh klub peserta Premier League dikuasai pengusaha bukan Inggris? English football menuju profesionalisme, kapitalisme, atau malah kehilangan jati diri?

Pertanyaan di atas jelas erat kaitannya dengan warna-warni kepemilikan klub-klub Inggris. Benarkah gejala invasi businessman semakin membawa Premier League menuju era profesionalisme?

Gejala ini mau tak mau harus membuat dunia mengakui, keterbukaan klub-klub Inggris terhadap pemodal asing semakin menambah semarak pemberitaan Premier League, salah satu kompetisi dari Benua Eropa yang paling ampuh menyedot perhatian dunia.

Ketika Tom Hicks dan George Gillett datang ke Liverpool pada Februari 2007, menyusul Randolph Lerner (Aston Villa) dan Malcolm Glazer (Manchester United), ada sebuah pertanyaan menarik. Kenapa penguasa Amerika malah melempar uangnya ke Inggris ketimbang membesarkan Major League Soccer?

Namanya juga pengusaha, is all about money, bukan? Prinsip businessman tetap tak berubah, di mana ada gula pasti di sana ada semut. Benarkah tradisi tua sepakbola Inggris memasuki era pemerkosaan? Sungguhkah pebisnis itu memang tak peduli sejarah English Football?

“Pendukung tidak senang bukan karena pemilik baru berasal dari Amerika atau negara lain,” kata dosen Sean Hamil. “Penyebabnya adalah naluri ketidakpercayaan terhadap para pebisnis.”

Jangan salahkah bila sebagian dari masyarakat menuding, sepakbola Inggris sesungguhnya mendekati kematian! Sulit meminggirkan sisi negatif businessman dalam setiap langkah klub.

Bisnis vs Kebudayaan

Apa alasan utama investor asing membawa uang mereka ke land of hope and glory? Ingin terlibat dan menjadi bagian kebudayaan masyarakat Inggris atau semata karena bisnis yang menggiurkan?

Hak siar televisi yang diutak-atik hingga meninggi, sponsor yang terus diberi janji-janji dan berbagai kemudahan, hingga tiket pertandingan yang kerap ludes terjual adalah buah harum dari tradisi sepakbola masyarakat Inggris yang dicium para pengusaha asing.

Kalau begitu, sepakbola Inggris yang merupakan bagian dari kultur kehidupan masyarakat mengalami pemerkosaan.

Kegundahan diperlihatkan bos Wigan Athletic, David Whelan. Mantan pemain Blackburn Rovers itu bersikeras, masih banyak orang yang berharap pemain Inggris mendominasi skuad klub. Dan berharap semua pemilik adalah pebisnis lokal yang menjadi pendukung klub tersebut sejak kecil. Karena itulah budaya mereka.

Bila Roman Abramovich adalah emas, berapa karat kecintaannya pada Chelsea? Nama Rusia dalam sepakbola semakin dikenal sejak pengusaha minyak itu berinvestasi ke Eropa melalui Chelsea pada Juni 2003. Secara politik, ekspansi Abramovich seolah menguntungkan pemerintah Rusia.

Tapi bagi publik Chelsea, nama Ken Bates lebih mengakar. Bates adalah pengusaha asal kota London yang menyelamatkan The Blues pada 1982 ketika nyaris terlempar ke Divisi III akibat masalah finansial.

Sambil berusaha menerima kenyataan, bergulirlah pemahaman bahwa isu utama bukanlah perihal kepemilikan, melain bagaimana cara mereka menjalankan organisasi klub. Jangan sampai korbannya adalah sepakbola Inggris sebagai bagian kehidupan dan tim nasional, The Three Lions. #

Tidak ada komentar: